Kamis, 10 Maret 2011

Hasil Indeks Persepsi Korupsi 2010

CPI 2010 dalam grafik peta (klik untuk memperbesar)

Dengan sejumlah besar usaha pemerintah untuk mengatasi masalah dunia yang paling mendesak, dari ketidakstabilan pasar keuangan sampai perubahan iklim dan kemiskinan, korupsi tetap menjadi halangan untuk mencapai kemajuan yang sangat dibutuhkan. Indeks Persepsi Korupsi 2010 menunjukkan bahwa hampir tiga perempat dari 178 negara di indeks nilainya di bawah lima, pada skala dari 10 (sangat bersih) ke 0 (sangat korup). Hasil ini menunjukkan masalah korupsi yang serius.

Untuk mengatasi tantangan ini, pemerintah perlu mengintegrasikan langkah-langkah anti-korupsi di segala bidang, dari respons mereka terhadap krisis keuangan dan perubahan iklim hingga komitmen oleh masyarakat internasional untuk memberantas kemiskinan. Denmark, Selandia Baru dan Singapura bernilai seri di bagian atas daftar dengan skor 9.3, diikuti oleh Finlandia dan Swedia di 9.2. Yang terburuk adalah Somalia dengan skor 1,1, sedikit mengejar Myanmar dan Afghanistan sebesar 1,4 dan Irak pada 1,5.

Indonesia berada pada posisi 110 bersama Benin, Bolivia, Kosovo, dan Negara Kepulauan Solomon dengan skor 2,8.
Posisi Indonesia dalam CPI 2010 (klik untuk memperbesar)

Sedangkan posisi dan skor Indonesia dari tahun ke tahun adalah sebagai berikut :
Tahun 1995 : Peringkat 41 (paling bawah) dengan Skor 1,9 (dari 41 negara)
Tahun 1996 : Peringkat 45 dengan Skor 2,6 (dari 54 negara)
Tahun 1997 : Peringkat 46 dengan Skor 2,7 (dari 52 negara)
Tahun 1998 : Peringkat 80 dengan Skor 2,0 (dari 85 negara)
Tahun 1999 : Peringkat 96 dengan Skor 1,7 (dari 99 negara)
Tahun 2000 : Peringkat 85 dengan Skor 1,7 (dari 90 negara)
Tahun 2001 : Peringkat 88 dengan Skor 1,9 (dari 91 negara)
Tahun 2002 : Peringkat 96 dengan Skor 1,9 (dari 102 negara)
Tahun 2003 : Peringkat 122 dengan Skor 1,9 (dari 133 negara)
Tahun 2004 : Peringkat 133 dengan Skor 2,0 (dari 145 negara)
Tahun 2005 : Peringkat 137 dengan Skor 2,2 (dari 158 negara)
Tahun 2006 : Peringkat 130 dengan Skor 2,4 (dari 163 negara)
Tahun 2007 : Peringkat 143 dengan Skor 2,3 (dari 179 negara)
Tahun 2008 : Peringkat 126 dengan Skor 2,6 (dari 180 negara)
Tahun 2009 : Peringkat 111 dengan Skor 2,8 (dari 180 negara)
Tahun 2010 : Peringkat 110 dengan Skor 2,8 (dari 178 negara)


Dapat dilihat Indonesia mengalami kenaikan Skor namun tidak signifikan dan tetap saja merupakan salah satu negara paling korup di dunia.

Sekarang, mari bandingkan dengan China yang menerapkan hukuman mati bagi koruptor
Tahun 1995 : Peringkat 40 dengan Skor 2 (dari 41 negara)
Tahun 1996 : Peringkat 50 dengan Skor 2,4 (dari 54 negara)
Tahun 1997 : Peringkat 41 dengan Skor 2,8 (dari 52 negara)
Tahun 1998 : Peringkat 52 dengan Skor 3,5 (dari 85 negara)
Tahun 1999 : Peringkat 58 dengan Skor 3,4 (dari 99 negara)
Tahun 2000 : Peringkat 63 dengan Skor 3,1 (dari 90 negara)
Tahun 2001 : Peringkat 57 dengan Skor 3,5 (dari 91 negara)
Tahun 2002 : Peringkat 59 dengan Skor 3,5 (dari 102 negara)
Tahun 2003 : Peringkat 66 dengan Skor 1,4 (dari 133 negara)
Tahun 2004 : Peringkat 71 dengan Skor 3,4 (dari 145 negara)
Tahun 2005 : Peringkat 78 dengan Skor 3,2 (dari 158 negara)
Tahun 2006 : Peringkat 70 dengan Skor 3,3 (dari 163 negara)
Tahun 2007 : Peringkat 72 dengan Skor 3,5 (dari 179 negara)
Tahun 2008 : Peringkat 72 dengan Skor 3,6 (dari 180 negara)
Tahun 2009 : Peringkat 79 dengan Skor 3,6 (dari 180 negara)
Tahun 2010 : Peringkat 78 dengan Skor 3,5 (dari 178 negara)


Bisa lihat dan nilai sendiri efeknya. Bisa lihat dan rasakan sendiri pertumbuhan ekonomi negara kita dengan negara China saat ini. Mari berpikir kembali.

data diambil dari http://transparency.org

Selasa, 08 Maret 2011

Begini Seharusnya Pejabat Bersikap


Menteri Luar Negeri Jepang Seiji Maehara membungkukkan badannya di hadapan pers setelah menyampaikan pengumuman pengunduran dirinya di Tokyo, 6 Maret 2011.

TOKYO, KOMPAS.com - Menteri Luar Negeri Jepang Seiji Maehara secara mendadak mengundurkan diri karena telah melanggar produk undang-undang di negaranya dengan menerima dana politik dari seorang warga asing. Pengunduran diri Maehara Seiji merupakan pukulan baru bagi pemerintahan Perdana Menteri Naoto Kan yang performanya selama ini diguncang oleh kritik publik.
Seiji Maehara (48) hingga Minggu (6/3/2011) tercatat genap menjabat sebagai menlu selama enam bulan. Maehara selama ini diunggulkan untuk menggantikan posisi Naoto Kan. Ketua Sekretaris Kabinet Yukio Edana untuk sementara akan merangkap jabatan dengan posisi yang ditinggalkan oleh Maehara.

Kan adalah pemimpin negara ke-5 Jepang yang dalam empat tahun terakhir rating popularitasnya merosot di bawah angka 20 persen. Pemerintah Jepang telah diterpa kritik sehubungan dengan ketidakmampuannya menangani masalah serius seperti penyusutan ekonomi, membengkaknya utang nasional, hingga menyusutnya pertumbuhan penduduk dan meningkatnya angka penduduk usia manula.

Maehara mengakui telah menerima dana sebesar 250.000 yen atau sekitar 3.000 dollar AS selama beberapa tahun terakhir dari seorang perempuan Korea berusia 72 tahun yang telah hampir sepanjang usianya menetap di Jepang. Maehara menerangkan telah menjadi sahabat perempuan ini sejak masa kanak-kanaknya.

Undang-undang yang berlaku di Jepang menutup kemudahan bagi warga asing untuk menjadi warga negara di negeri matahari terbit walaupun anggota keluarga dari warga asing itu telah menetap di Jepang selama beberapa generasi. Warga asing yang mencakup ratusan ribu etnis Korea yang menetap di Jepang sebagian besar berasal dari buruh yang didatangkan secara paksa ke Jepang selama Perang Dunia II.

Undang-undang pengaturan dana politik di Jepang melarang anggota parlemen untuk menerima donasi apa pun dari warga asing termasuk dari mereka yang terlahir di Jepang. Pengunduran diri Maehara yang disampaikan dalam sebuah keterangan pers diperkirakan menambah noda ketidakpercayaan publik terhadap pemerintahan Kan.

Sambil membungkukkan badannya, Maehara menyampaikan permohonan maaf secara terbuka ke publik dalam sebuah keterangan pers.

"Saya memohon maaf ke segenap rakyat bahwa saya terpaksa meletakkan jabatan setelah mengabdi selama enam bulan karena telah menyebabkan ketidakpercayaan yang bermuara dari isu politik dan uang meskipun saya telah berjanji untuk menciptakan kondisi politik yang bersih," ujarnya.

"Saya sungguh menyesali masalah yang berasal dari kesalahan saya sendiri ini," katanya.

Penulis dan Editor : Jimmy Hitipeuw

Minggu, 06 Maret 2011

Buku Saku Publikasi KPK

Silahkan download buku-buku saku publikasi KPK, sementara berikut ini adalah buku saku yang tersedia


1. Buku Saku : Memahami Gratifikasi


2. Buku Saku : UNAC GAP Analysis


3. Buku Saku : Kode Etik Pegawai KPK


4. Buku Saku : Memahami untuk Membasmi (my personal favorite)


Silahkan masuk ke Link berikut ini untuk mendownloadnya : http://www.kpk.go.id/modules/news/index.php?storytopic=12

Kejaksaan: Kasus Sisminbakum Rugikan Negara

TEMPO/Adri Irianto

TEMPO Interaktif, Jakarta- Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) M. Amari mengatakan, pihaknya tetap menganggap pengadaan layanan Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, merugikan keuangan negara. "Kami masih konsisten," kata dia di Kejaksaan Agung, Jumat (4/3). 

Menurut Amari, anggapan Pidsus tersebut sesuai amar putusan Mahkamah Agung untuk Yohanes Waworuntu, eks Direktur PT Sarana Rekatama Dinamika, rekanan Kementerian dalam pengadaan Sisminbakum. Dalam amar putusannya, Yohanes diminta mengganti Rp 378 miliar ke kas negara. 

Sebelumnya, tersangka kasus Sisminbakum, mantan Menteri Hukum Yusril Ihza Mahendra, minta kasusnya dihentikan Kejagung. Sebab MA dalam amar putusannya untuk terdakwa Sisminbakum, Mantan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Romli Atmasasmita, menyatakan Sisminbakum tidak merugikan keuangan negara. 

Perbedaan amar putusan Yohanes dengan Romli membuat Kejaksaan memerlukan waktu lebih dari sebulan untuk menimbang apakah perkara Sisminbakum atas nama Yusril akan dilimpahkan ke pengadilan ataukah tidak. Namun Amari memastikan, tak lama lagi Kejaksaan akan menetapkan putusan. "Sebentar lagi final," kata dia. 

Seperti diberitakan, kerugian negara akibat proyek Sisminbakum ditaksir mencapai Rp 378 miliar. Nilai itu merupakan akumulasi uang yang terkumpul antara tahun 2001-2008. Dalam proyek Sisminbakum, 90 persen biaya akses mengalir ke PT SRD milik Gerard Yakobus dan Yohanes Waworuntu. Sedangkan Koperasi Pengayoman Karyawan Departemen Hukum dan HAM hanya kebagian sisanya.


sumber : http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2011/03/04/brk,20110304-317691,id.html

Busyro Muqoddas Minta Remisi untuk Koruptor Dihapus

Busyro Muqoddas. TEMPO/Aryus P Soekarno 


TEMPO Interaktif, Jakarta- Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Busyro Muqoddas, meminta pemerintah tidak lagi memberi remisi atau potongan masa tahanan bagi terpidana korupsi. Bahkan Busyro meminta negara mengamandemen Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang mengatur ketentuan remisi itu. Alasannya, pemberian remisi terhadap koruptor bukanlah pendidikan yang bagus untuk masyarakat. "Dari dulu saya tidak setuju kasus korupsi pakai remisi dan sejenisnya," kata Busyro di kantornya, Jumat (4/3).

Seorang koruptor yang telah mendapat vonis, lanjut dia, seharusnya menjalani masa hukuman sampai habis. "Masak seorang koruptor dihukum, dengan potongan remisi tahu-tahu ngejedul methungul (mendadak nongol). Selesai, pesta. Ini menyakitkan," kata dia.

Atas dasar itu, Busyro menegaskan bila remisi harus dihapuskan, khususnya koruptor. Bahkan mantan Ketua Komisi Yudisial menginginkan adanya hukuman sosial bagi pelaku korupsi. "Misalnya, membersihkan gereja di hari Minggu, membersihkan masjid di hari Jumat. Kalau perlu menggunakan baju tahanan," ujarnya.

Dalam Program Legislasi Nasional 2011, lanjut dia, seharusnya anggota Dewan memasukkan Undang-Undang Pemasyarakatan itu dalam daftar revisi. "Bukan mengutak-atik Undang-Undang KPK," kata Busyro.

sumber : http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2011/03/04/brk,20110304-317714,id.html

Sabtu, 05 Maret 2011

Pertanyaan dan Jawaban Seputar Korupsi

1. Bagaimana Anda mendefinisikan korupsi?
Transparency International (TI) telah memilih definisi yang jelas dan fokus dari istilah: Korupsi secara operasional didefinisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi. TI lebih lanjut membedakan antara "menurut aturan" korupsi dan "melawan aturan" korupsi. Pembayaran fasilitasi, di mana suap dibayar untuk menerima perlakuan istimewa dari penerima suap yang wajib melakukan tindakan hukum. Di sisi lain, sebagai suap yang dikeluarkan untuk mendapatkan layanan yang dilaraang dari si penerima suap.


2. Apa itu "transparansi"?
"Transparansi" dapat didefinisikan sebagai suatu prinsip yang memungkinkan mereka yang terkena oleh keputusan administrasi, transaksi bisnis atau pekerjaan amal tidak hanya untuk mengetahui fakta-fakta dasar dan angka, tetapi juga mekanisme dan proses. Ini adalah tugas pegawai negeri, manajer dan pengurus untuk bertindak terlihat, bisa ditebak dan dimengerti.


3. Apa yang TI lakukan terhadap korupsi?
Bahkan setelah satu dekade memimpin kemajuan dan mencapai kesuksesan dalam memerangi korupsi, kami di Transparency International sangat menyadari bahwa tantangan yang signifikan masih tetap ada. Kami tetap berkomitmen dengan nilai-nilai inti dan prinsip-prinsip yang telah membimbing pekerjaan kami dari awal gerakan kami pada tahun 1993. Prinsip-prinsip dasar perjuangan anti-korupsi TI sudah ditetapkan sejak awal: membangun koalisi, melanjutkan secara bertahap, dan sisanya non-konfrontatif.

Apa artinya ini? TI berpendapat bahwa mengawasi tindak korupsi hanya dapat dilakukan jika wakil-wakil dari pemerintah, bisnis dan masyarakat sipil bekerja sama untuk menyetujui serangkaian standar dan prosedur yang mereka dukung bersama. TI juga berpendapat bahwa korupsi tidak dapat dibasmi dalam satu sapuan besar. Sebaliknya, pertempuran itu adalah langkah-demi-langkah, proyek-melalui proses-proyek. TI mengutuk penyuapan dan korupsi dengan penuh semangat dan berani dimanapun kasus itu telah diidentifikasi, meskipun TI tidak berusaha untuk mengungkapkan kasus-kasus korupsi individual. Akhirnya, pendekatan TI non-konfrontatif diperlukan untuk mendapatkan dukungan semua pihak terkait.


4. Apa saja dampak akibat korupsi?
Dampak korupsi adalah empat kali lipat: politik, ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Di front politik, korupsi merupakan suatu hambatan yang besar bagi demokrasi dan supremasi hukum. Dalam sistem demokrasi, kantor dan institusi kehilangan legitimasi mereka ketika mereka disalahgunakan untuk keuntungan pribadi. Meskipun ini berbahaya di demokrasi yang sudah mapan, bahkan lebih berbahaya di negara demokrasi baru. Kepemimpinan politik yang terpercaya tidak dapat berkembang dalam iklim yang korup.

Secara ekonomi, korupsi menyebabkan penipisan kekayaan nasional. Hal ini merupakan penyebab untuk penyaluran sumber daya publik yang langka untuk proyek-proyek high-profile tidak ekonomis, seperti bendungan, pembangkit listrik, jaringan pipa dan kilang, dengan mengorbankan proyek-proyek infrastruktur kurang spektakuler tetapi mendasar seperti sekolah, rumah sakit dan jalan, atau pasokan listrik dan air untuk daerah pedesaan. Selain itu, menghambat perkembangan struktur pasar yang adil dan mendistorsi persaingan, sehingga menghalangi investasi.

Pengaruh korupsi pada struktur sosial masyarakat adalah yang paling merusak dari semua. Ini melemahkan kepercayaan rakyat dalam sistem politik, di lembaga dan kepemimpinannya. Menimbulkan frustrasi dan sikap apatis umum di kalangan publik akibat kekecewaan. Yang berikutnya membuka jalan bagi pemimpin lalim maupun pemimpin yang terpilih secara demokratis tapi tak bermoral untuk mengubah aset-aset nasional menjadi kekayaan pribadi. Menuntut dan membayar suap menjadi norma. Mereka yang tidak bersedia untuk mematuhi seringkali emigrasi, meninggalkan negara kehabisan warganya yang paling mampu berkarya dan paling jujur.

Kerusakan lingkungan adalah satu lagi konsekuensi dari sistem yang korup. Kurangnya, atau tidak adanya penegakan, peraturan lingkungan dan perundang-undangan secara historis telah memungkinkan pembalakan liar. Pada saat yang sama, eksploitasi sumber daya alam yang ceroboh, oleh agen domestik dan internasional telah menyebabkan lingkungan alam rusak. Proyek-proyek yang merusak lingkungan menjadi pilihan dalam pendanaan, karena mereka adalah target mudah untuk menyedot uang publik ke dalam kantong pribadi.


 5. Dapatkah biaya korupsi diukur?
Jawaban singkatnya adalah "tidak". Beberapa ahli menggunakan analisis regresi dan metode empiris lain untuk mencoba untuk menempatkan angka pada biaya korupsi. Adalah hampir mustahil untuk dihitung karena pembayaran suap tidak dicatat secara publik. Tidak ada yang tahu persis berapa banyak uang yang sedang "diinvestasikan" di pejabat korup setiap tahunnya. Dan suap tidak hanya mengambil bentuk moneter: nikmat, jasa, hadiah dan sebagainya adalah hal yang biasa. Paling banyak, seseorang dapat melakukan penelitian hubungan antara tingkat korupsi dan, katakanlah, demokratisasi, pengembangan ekonomi atau kerusakan lingkungan. Biaya sosial korupsi bahkan lebih tidak terukur. Tidak ada yang tahu berapa banyak hilangnya seorang pengusaha energik atau ilmuwan yang diakui negara. Selain itu, biaya sosial yang diperkirakan dalam rupiah tidak akan cukup untuk mengukur tragedi kemanusiaan di balik pengunduran diri, buta huruf, atau perawatan medis yang tidak memadai. Sebuah skeptisisme umum vis-à-vis segala upaya kuantifikasi biaya korupsi dengan demikian diperlukan.

Contoh berikut menggambarkan dilema menekan isu menjadi fakta-fakta dan angka: Sebuah pembangkit listrik sedang dibangun di suatu tempat di dunia, dengan biaya sebesar 1 trilyun rupiah. Dapat dikatakan bahwa - kalau bukan karena korupsi - biaya bisa saja terendah 800 milyar rupiah. Kerusakan finansial publik berarti sebesar 200 milyar rupiah. Dalam praktek, cukup sering proyek direncanakan secara sederhana sehingga mereka yang yang terlibat dapat membuat keuntungan pribadi yang besar. Jika diasumsikan bahwa pembangkit listrik itu ternyata sudah melebihi kapasitas berlebih, maka kerusakan finansial bernilai 1 Trilyun rupiah. Dan hingga saat ini, belum ada proyek konstruksi utama yang tidak mempengaruhi lingkungan. Hasilnya mungkin: polusi meningkat, penurunan harga tanah, memindahkan kembali (resettlement) penduduk lokal, beban utang meningkat bagi negara, dll perhitungan ini - mungkin dekat dengan kenyataan - sangat kompleks. Pada skala global, tampaknya hampir mustahil. Tetapi bahkan jika kita dapat menghitung kerusakan lingkungan, peningkatan beban utang dan faktor lain, bagaimana seseorang mengukur erosi kepercayaan publik dan kemerosotan legitimasi pemerintah, yang merupakan akibat langsung dari korupsi?


 6. Di mana korupsi yang paling umum?
Sekilas, pertama tanpa pandang bulu, Indeks Persepsi Korupsi/ Corruption Perception Index (CPI), diterbitkan setiap tahun oleh TI, tampaknya untuk mengkonfirmasi gagasan stereotip bahwa korupsi umumnya merupakan masalah Selatan. Sementara negara-negara Skandinavia tidak termasuk di atas, sebagian besar sub-Sahara Afrika barisan di bagian bawah. Tidak hanya akan salah untuk menyimpulkan, bagaimanapun, bahwa - menurut CPI 2008 - Somalia dan Myanmar adalah negara-negara paling korup di dunia, tetapi juga akan menjadi kontraproduktif. Indeks tersebut tidak dimaksudkan untuk memberi label pada satu negara atau wilayah, atau untuk pit Utara terhadap Selatan. Sebaliknya, itu adalah alat untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap masalah dan mempromosikan tata pemerintahan yang lebih baik.

Orang-orang korup karena sistem memungkinkan mereka untuk menjadi korup. Ini adalah pertemuan antara godaan dengan ke-permisif-an sehingga korupsi berakar pada skala luas. Lingkungan seperti itu lebih mungkin dalam negara demokrasi yang baru muncul dari Selatan dan Timur. Di sana, administrasi dan lembaga-lembaga politik masih lemah dan skala gaji umumnya sangat rendah, para pejabat tergoda untuk "tambahan" penghasilan mereka. Dalam sistem diktatorial, sementara itu, lembaga-lembaga administratif dan politik hanyalah perpanjangan dari praktek korup perampas itu. 

Tahun 1999 Konvensi Anti-Suap OECD telah membuat penyuapan pejabat asing sebagai tindak pidana. TI telah membahas hal ini aspek dengan Index Pembayar Suap nya (BPI), sebuah pelengkap logis CPI. Selain pertanyaan tentang pervasiveness korupsi regional, isu korupsi berdasarkan sektor sering diangkat. BPI menyediakan bukti statistik sebagai mana sektor usaha yang paling rentan terhadap korupsi. Menurut hasil ini, masalah korupsi sangat lazim di pekerjaan umum dan konstruksi, diikuti oleh persenjataan dan industri pertahanan. Sektor dengan korupsi terdeteksi paling sedikit adalah pertanian.


7. Bagaimana korupsi mempengaruhi kehidupan masyarakat?
Di seluruh dunia, korupsi mempengaruhi kehidupan masyarakat dalam banyak cara. Dalam kasus-kasus terburuk, korupsi mengakibatkan kematian. Dalam kasus lain yang tak terhitung, menyebabkan hilangnya kebebasan, kesehatan, atau uang. Ini memiliki konsekuensi global yang mengerikan, memerangkap jutaan dalam kemiskinan dan kesengsaraan, selain dapat memicu kerusuhan sosial, kerusuhan dan politik. Korupsi adalah penyebab kemiskinan, dan sekaligus hambatan untuk mengatasinya. Berikut adalah beberapa contoh:

Ketika harga bensin Guatemala melonjak pada 2008, kehidupan menjadi sulit bagi banyak keluarga dan bisnis. Beberapa pemasok bensin, bagaimanapun, tidak menderita bersama mereka: mereka telah mampu membawa bensin murah melalui perbatasan dari Meksiko, meskipun itu ilegal untuk dilakukan. Karena "menyebrang" dengan truk kosong merupakan pelanggaran, pengemudi truk mungkin telah membayar suap kepada otoritas bea cukai untuk diizinkan lewat. Media secara luas melaporkan bahwa bensin murah tersedia di pinggiran kota, kadang-kadang dijual di stasiun bensin dadakan dan sementara. Pemilik SPBU yang tidak memiliki akses ke pasokan bensin murah dari Meksiko mengklaim mereka kehilangan bisnis kepada para pemasok bensin baru. TI menyerahkan masalah ini ke Kantor Bea Nasional bahwa peraturan bea diperjelas untuk memastikan bahwa semua kendaraan komersial melintasi perbatasan harus punya bukti yang sah atas alasan bisnis mereka untuk melakukannya.


8. Bagaimana jenis lingkungan dimana niat korupsi dapat berkembang?
Sebagaimana ditunjukkan di atas, korupsi tumbuh subur di mana godaan berdampingan dengan ke-permisif-an. Dimana pemeriksaan kelembagaan atas kekuasaan hilang, dimana pengambilan keputusan masih tidak jelas, di mana masyarakat sipil tipis di atas tanah, di mana kesenjangan besar dalam distribusi kekayaan membuat orang hidup dalam kemiskinan, merupakan tempat berkembang praktek-praktek korupsi. Hal ini tidak bisa ditekankan cukup bahwa korupsi masih hidup dan baik bahkan di mana lembaga-lembaga politik, ekonomi, hukum dan sosial baik tertanam.


9. Dapatkah korupsi dilihat normal atau tradisional dalam beberapa masyarakat?
Para kritikus berpendapat bahwa perang melawan korupsi hanyalah kasus Utara berusaha untuk memaksakan pandangan dan nilai-nilai di Selatan. Beberapa mengatakan bahwa pemberian hadiah dan mengambil di wilayah publik merupakan tradisi normal dalam budaya non-Barat. Perdebatan mengenai relativisme budaya dan neo-kolonialisme adalah satu diperebutkan. Dimana konsep-konsep seperti prosedur pengadaan publik adalah konsep yang tidak diketahui, menyuap pejabat publik untuk mendapatkan kontrak pekerjaan umum tidak ada. Norma dan nilai-nilai konteks-terikat dan bervariasi di seluruh budaya. Pemberian hadiah adalah bagian dari negosiasi dan membangun hubungan di beberapa bagian dunia. Tapi relativisme budaya berakhir di mana rekening bank Swiss memasuki TKP. Ini adalah masalah tingkatan: ada batas-batas dalam semua kebudayaan luar dimana tindakan menjadi korup dan tidak dapat diterima.


10. Apakah demokrasi dan korupsi (tidak) dapat berekonsiliasi?
Dalam demokrasi modern, kekuatan yang melekat dalam badan-badan pemerintah merupakan mandat politik yang diberikan oleh rakyat. Kekuasaan dipercayakan dan ini seharusnya digunakan untuk kepentingan masyarakat pada umumnya, dan bukan untuk kepentingan pribadi individu yang memegang itu. Jadi korupsi - menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan untuk kepentingan pribadi - secara inheren kontradiktif dan tak dapat direkonsiliasikan dengan demokrasi. Namun tidak berarti, sayangnya, korupsi tidak dapat ditemukan dalam sistem demokrasi. Godaan tetap menjadi tantangan di mana saja. Itulah sebabnya semakin penting untuk memasukkan mekanisme kontrol di tempat dan mendirikan rintangan sistemik untuk mencegah orang menyalahgunakan kekuasaan mereka, seperti yang sedang diusahakan oleh TI. Mekanisme tersebut lebih mudah dibuat dan diperkenalkan dalam sistem demokrasi mapan, dari pada negara demokratis baru atau non-demokratis.

diambil, diterjemahkan, dan di-edit dari sumber : http://www.transparency.org

Definisi Korupsi

Dari segi semantik istilah korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio atau corruptus, dan corruptio sendiri memiliki kata asal corrumpere. Dari bahasa Latin kemudian diturunkan ke bahasa Inggris corruption;corrupt dan Bahasa Belanda korruptie yang artinya kurang lebih perilaku tidak bermoral (immoral); tidak jujur (dishonest) . Sedangkan istilah yang kita gunakan tampaknya lebih cenderung kepada bentuk turunan dari bahasa Belanda. Kata korupsi dalam pendekatan atau perspektif orang awam adalah suatu perbuatan yang sangat buruk, busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan lain sebagainya untuk kepentingan pribadi (Sujana,2008).

Definisi korupsi memang tidak mudah di ungkapkan, mengingat rumusannya bisa berbeda tergantung pada titik tekan dan pendekatannya. Misalnya pengertian korupsi dalam perspektif politik, sosiologi dan ekonomi bisa berbeda, demikian pula di antara kalangan ahli pada bidang atau disiplin ilmu yang sama sekalipun , sering terjadi perbedaan yang tidak sederhana. Korupsi sebagai fenomena dalam kehidupan sosial, budaya, kemasyarakatan, dan kenegaraan sudah banyak di kaji dan dikritisi oleh banyak ilmuwan dan filosof. Aristoteles misalnya, yang diikuti oleh Machiavelli, sejak awal telah merumuskan sesuatu yang disebutnya sebagai korupsi moral (moral corruption). Korupsi moral dimaksud merujuk kepada berbagai bentuk konstitusi yang sudah melenceng, hingga para penguasa rezim tidak lagi dipimpin oleh hukum tetapi tidak lebih hanya melayani dirinya sendiri (Semma, 2008).


Definisi korupsi dalam perspektif ekonomi sering didefinisikan sebagai perilaku yang menyimpang dari aturan etis formal yang menyangkut tindakan seseorang dalam posisi otoritas publik yang disebabkan oleh motif pertimbangan pribadi, seperti kekayaan, kekuasaan, dan status (Walters,2006). Namun ada juga yang memandang korupsi ada kaitannya dengan kapitalisme, seperti yang di paparkan oleh Girling (2003) yang mengatakan bahwa korupsi sebenarnya mewakili persepsi yang normatif dari ekses kapitalisme, yaitu kulminasi dari proses yang sistematik dari praktek – parktek kolusi yang terjadi di antara elite politik dan pelaku ekonomi , yang melibatkan kepentingan publik dan kepentingan pribadi. Dari perspektif hukum secara yuridis formal korupsi dalam Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 di artikan sebagai tindakan yang bertujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dan oleh karenanya dikenakan delik hukum menurut KUHP sebagai kejahatan atau kesalahan, ataupun perbuatan – perbuatan yang bisa dikenai tindak dan sanksi hukum. Sedangkan dalam pandangan psikologi sosial korupsi didefinisikan sebagai tingkah laku yang bersifat patologis dimana adanya penggunaan wewenang atau jabatan demi keuntungan pribadi dengan cara – cara yang merugikan kepentingan umum dan negara (Kartono,1981).

Selain itu penulis menemukan juga definisi yang lajim di gunakan oleh para peneliti antara lain: “ … government corruption as the sale by government official of goverment property for personal gain.” (Walters,2006). “… as the violation of the formal rules governing the allocation of public resources by official in response to offer of financial gain or political support” (Khan,1998); “ berbagai tindakan gelap dan tidak sah (illicit or illegal activity) untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok, yang kemudian bertransformasi menguat menjadi penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan publik untuk kepentingan privat (Mahdar dalam Semma,2008); Sedangkan Pope mengartikan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan dan kepercayaan untuk kepentingan pribadi atau perilaku tidak mematuhi prinsip mempertahankan jarak antara kepentingan publik dengan kepentingan pribadi” (Pope,2003). Dan yang sering juga dirujuk adalah definisi World Bank (1997) yang mengartikan korupsi “…the abuse of entrusted power for personal gain or for the benefit of a group to which one owes allegiance”.

Korupsi dalam realita kehidupan sehari – hari seringkali di artikan sebagai konsep yang mengambil bentuk perilaku yang luas, misalnya seringkali kita mendengar istlah korupsi waktu, korupsi politik, korupsi pemikiran, korupsi hati nurani dan sebagainya. Jadi kata korupsi dalam kenyataannya tidak hanya berkaitan dengan uang dan harta serta kekuasaan dan wewenang, melainkan lebih pada perilaku yang buruk dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Oleh karena itu tepat seperti yang dituangkan dalam the Lexicon Webster Dictionary (1978) , bahwa korupsi itu adalah suatu hal yang berkaitan dengan perilaku yang buruk dengan bermacam – macam ragam arti dan maknanya yang bervariasi menurut waktu, dan tempat.

Secara umum dari sekian pengertian tentang korupsi tersebut tampak ada benang merahnya. Benang merah tersebut adalah (1) korupsi adalah perilaku yang dilakukan secara sadar dan sengaja, (2) korupsi berintikan tindakan salah pakai dan salah urus dari kekuasaa, demi keuntungan pribadi, dan (3) salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang, dan kekuatan – kekuatan formal untuk memperkaya diri sendiri.

Bagian pembahasan ini akan penulis akhiri dengan sebuah rumus yang dikemukakan oleh Robert Klitgaard (1998 ) tentang korupsi. Rumus dimaksud adalah C = D+M-A, dimana C untuk corruption, D untuk discretionery , M untuk monopoly, dan A untuk accountability.

Diambil dan di-edit dikit kesalahan ejanya dari:
Artikel Jurnal Internasional Apps "HISTORIA" Korupsi Pada Masa VOC dalam Multiperspektif.
Oleh: Dra. Erlina Wiyanarti, M.Pd